The Cuban Swimmer - PART 1
Milcha Sanchez
Scott
THE CUBAN SWIMMER (1984)
Retold by
Rinia Zatalini
Sang Fajar tengah duduk di singgasananya siang itu.
Pantulan cahayanya menghambat terjadinya bayangan karena telah sejajar dengan
raga. Kapal-kapal kecil tampak hendak saling mendahului, berlayar melawan
ganasnya ombak Samudera Pasifik. Seorang gadis belia asal Kuba, Margarita Suárez,
tampak sedang berenang. Sebuah kapal kecil mengiringinya dari belakang. Ayah
Margarita, Eduardo Suárez tengah berdiri diatas kapal dengan megafon
ditangannya. Sedangkan Simon, adik laki-laki Margarita, seolah tak peduli dengan
kejamnya panas sang fajar. Dengan kemeja yang tak lagi melekat di badan,
kacamata hitam yang menghiasi wajah, serta teropong yang bergelantungan didada,
ia duduk dibagian atas kabin kapal. Ia bertugas sebagai penunjuk arah.
Eduardo, sang ayah yang sekaligus merupakan pelatih
Margarita, mencondongkan badannya kedepan seraya berteriak, “Uno, dos, uno, dos …”. Merupakan
kewajiban seorang pelatih untuk membimbing anak didiknya, dan adalah naluri
seorang ayah yang pastinya ingin menyemangati anak perempuannya yang tengah berpacu
melawan liarnya lautan Pasifik dan perenang lain yang juga tengah berjuang sama
seperti Margarita. Kedua hal itu menyatu dalam diri Eduardo. Untuk sementara
waktu, ia membuang jauh-jauh rasa kasihannya pada Margarita. Dengan keras dan
tegas, lagi-lagi ia berteriak melalui megafon, “Jaga agar bahumu tetap sejajar
dalam air. Tarik kedalam, tarik kedalam, tarik!! Gerakkan lenganmu, Nak”.
Sementara itu, Simon melepaskan kacamatanya. Ia menantang
langsung cahaya matahari dan kemudian mengintip sang fajar tersebut melalui
teropong. Simon pun membujuk teropongnya agar memberinya sebuah petunjuk. Simon
melihat ke belakang ke garis pantai, lalu ke depan ke lautan. Ia tiba-tiba
berteriak, “Berhenti! Berhenti, Papi! Berhenti!” Mendengar teriakan itu, Ibu
dan Nenek Margarita; Aida Suárez dan Abuela, bergegas berlari dari arah
belakang kapal menuju sumber suara. Mereka kaget dan bertanya tentang apa yang
terjadi. Mereka khawatir kalau saja ada hiu yang mendekat. “Apakah ada hiu?” tanya Abuela. Eduardo memberi
isyarat pada Margarita agar berhenti. Ia meniup peluit dan Margarita melihat ke
arah kapal. Simon pun segera mengkonfirmasi bahwa sama sekali tak ada hiu yang
berkeliaran. Simon sebenarnya hanya ingin memberi tahu bahwa mereka telah
mencapai setengah perjalanan dari San Pedro menuju Santa Catalina. Mereka telah menjangkau tanda separuh perjalanan.
Dengan lugunya, Abuela melihat kearah air laut dan mencari-cari tanda separuh
perjalanan itu. Ia heran dan bertanya-tanya dimanakah letak tanda itu. Aida pun
cepat merespon bahwa tanda itu tidak ada di lautan. Hal itu diketahui
berdasarkan ilmu pengetahuan dan bersifat ilmiah. Simon kemudian menjelaskan
pada Abuela tentang tanda tersebut. Tapi, Abuela malah menggelengkan kepalanya.
Maklumlah kebanyakan orang yang sudah tua tak mampu lagi mencerna pengetahuan
ilmiah yang sophisticated. Ia bingung
dan kemudian melihat bolak-balik kearah San Pedro dan Catalina, mencoba membuat
keputusan atas penjelasan cucunya tadi. Belum jadi ia memutuskan, tiba-tiba
terdengarlah suara helikopter. Abuela mendongak keatas dan suara helikopter
semakin keras. Margarita yang tengah melanjutkan renangnya yang tadi sempat
terhenti juga ikut menengadah. Semua orang menunjuk ke arah helikopter. Kini,
bayangan helikopter tersebut jatuh tepat kearah kapal. Simon melihatnya melalui
teropong.
“Papi, Papi, apa itu?” ujar Margarita.
Dengan sedikit terbata-bata, Eduardo menjawab, “Tidak ada
apa-apa. Semuanya baik-baik saja. Semuanya dapat Papi kendalikan. Uhh… tetaplah
berenang dan tetap berada didekat kapal”. Eduardo berusaha menjaga agar
Margarita tetap berkonsentrasi pada renangnya. Sebaliknya, bukannya ikut
membantu Ayah menenangkan Margarita, Simon malah berteriak ke arah helikopter.
Ia seolah tak percaya bahwa ia sekeluarga diliput langsung oleh Mel Munson dan
Mary Beth White; dua orang reporter Amerika Serikat yang terkenal. Bukannya
senang, Simon malah mengucapkan sumpah serapah dan hal kotor tentang Amerika. Ia
seolah menunjukkan ketidaksukaannya dengan Amerika. Akan tetapi… bukankah Simon
dan keluarganya merupakan bagian dari Amerika? Memang. Simon dan keluarganya
berasal dari Kuba; negara kepulauan di Amerika Utara. Sebelah utara Kuba berbatasan dengan
Amerika Serikat. Ahh! Berada dalam benua dan kawasan yang sama dan dekat belum
tentu dapat membuat penghuninya beramah-tamah satu sama lain. Diskriminasi
antara kulit hitam; kaum minoritas, dan mayoritas kulit putih masih terjadi dan
kentara sekali di benua tersebut yang terkadang masih menyisakan luka pada
sebagian orang berkulit hitam. Orang-orang berkulit hitam sering dipandang hina
dan dianggap remeh. Karena hal itulah Simon pun mungkin hendak pamer pada
seluruh warga Amerika---yang mayoritas berkulit putih, bahwa orang berkulit
hitam juga bisa melakukan penghinaan yang sama. Mendengar
sumpah serapah itu, Ibu pun marah dan menyuruh Simon untuk mengenakan
pakaiannya. Ia tak ingin anaknya terlihat berantakan didepan kamera.
Ibu pun ikut-ikutan eksis. Ia merapikan rambutnya,
mengenakan kacamata dan melambai-lambai kearah helikopter layaknya seorang artis
Holywood. Tak ingin kalah, Abuela pun menggeledah kapal mencari kacamatanya
dengan harap bisa melakukan hal yang sama seperti si Ibu. Simon kemudian
bersandar pada sisi kapal dan memberi tahu Margarita bahwa ia tengah diliput oleh
stasiun TV Amerika. Eduardo agaknya marah karena hal itu dapat membuyarkan
konsentrasi Margarita. Untung saja Margarita tidak mendengar teriakan Simon. Sebelum
Simon melakukan hal-hal gaduh lainnya, Eduardo mengantisipasi dan memerintahkannya
agar menghidupkan radio untuk menyimak apa-apa saja yang dikatakan para
reporter itu tentang mereka.
Suara Mel terdengar begitu jelas di radio.
“Jika kita lihat lebih dekat kearah kapal, tampaklah
beberapa orang kru La Havana yang
gagah berani. Dan disanalah, tak jauh dari kapal, perenang cilik Kuba dari Long
Beach, California, 19 tahun, Margarita Suárez, dengan keuletannya bertempur
melalui air laut yang keruh dan dingin untuk mencapai sebuah pulau romantik, Santa
Catalina. Perenang yang tidak dikenal ini merupakan peserta yang masuk dan
berjuang layaknya seorang Cinderella. Akankah dia menjadi yang pertama sampai
di garis finish? Dua ribu dolar dan
sebuah piala emas menantinya”.
Gagah berani? Yang benar saja! Semua kru Margarita adalah
keluarganya sendiri. Ironi! Itu bukan pujian melainkan sindiran.
Kata-kata Mel seolah menjadi saksi dan bukti bahwa
diskriminasi itu masih merajalela. Simak saja! Kata Cinderella merupakan salah satu eufemisme dan bukti nyata yang tak
dapat dielakkan. Mel seolah mencemooh Margarita. Ia mengumpamakan Margarita dan
segenap usahanya sama seperti tokoh Cinderella; Cinderella yang hidup menderita
dan hanya keajaiban--yang jarang sekali terjadi didunia nyata, yang bisa
mengubah nasibnya. Meskipun diantara mereka mungkin ada yang menangkap sinyal
penghinaan tersebut, namun Eduardo, Ibu, dan Abuela menyimpannya. Hanya gerutu
Ibu tentang jumlah hadiah uang yang bahkan tak bisa menutupi biaya mengikuti
perlombaan yang sayup-sayup terdengar. Mereka pun terus menyimak radio. Mel dan Mery saling sahut menyahut melaporkan. Mereka
bahkan membeberkan---lebih tepatnya menyinggung. Lagi!---tentang Eduardo, ayah
sekaligus pelatih Margarita yang bahkan bukan seorang perenang. Eduardo merupakan seorang kepala penunjuk kursi di sebuah institusi bernama Holy Name Society dan
sekaligus pemilik Suarez Treasures. Tak
tanggung-tanggung, para reporter itu juga menuturkan tentang nyonya Suarez yang
dahulunya dinobatkan sebagai Miss Kuba.
Tampaknya media tersebut begitu “antusias” meyuarakan
pejuang Kuba yang satu ini. Helikopter semakin dekat dan suaranya pun semakin keras.
Margarita ketakutan dan menengadah lagi. Ia memanggil ayahnya seolah meminta
keterangan. Kali ini, Eduardo memberi tau Margarita tentang kehadiran pers. Tak
peduli apapun yang terjadi, namun setiap kali Margarita menoleh atau berhenti
sejenak untuk bertanya atau pun karena alasan lain, Eduardo tak henti-hentinya
memberi arahan dan semangat. Melalui megafon, ia kembali menyahut dan mengabari
Margarita agar tetap pada tempo renangnya dan tak usah menghiraukan kehadiran pers karena hal tersebut ada dan telah
dikontrolnya. Aida, Ibu Margarita sontak menggubris ucapan suaminya itu dengan
nada cemooh. Aida lah orang yang pertama kali menyuarakan dan menerjemahkan
sinyal penghinaan yang tadinya disampaikan oleh para reporter. Ia melihat
suaminya hanya diam dan tidak berontak sedikitpun karena penghinaan pers itu. Tapi kemudian, suaminya malah
memberitahukan Margarita bahwa ia dapat mengontrol dan mengendalikan pers
tersebut. Lucu dan ironis! Namun Eduardo sama sekali tak menghiraukan sindiran
istrinya.
Jarak antara helikopter dan kapal yang semakin dekat
merupakan suatu keberuntungan bagi Abuela yang saat itu telah menemukan
kacamatanya. Ini berarti ia punya kesempatan juga untuk ikut eksis dan narsis.
Ia memasang kacamata, merapikan dan mengelus-elus rambutnya, kemudian memberikan
lambaian terbaiknya ke arah helikopter, ke arah kamera tentunya. Bak seorang supporter, Abuela menyapa Amerika,
memperkenalkan dirinya, dan kemudian bersorak-sorak ria menyemangati cucunya,
Margarita. Ia sama sekali tak peduli dengan nasihat dan peringatan Aida.
“He can’t
understand you anyway, dia takkan mengerti apa yang kau katakan” ujar Aida.
Abuela mengabaikannya. Ia tetap bangga dengan apa yang ia
lakukan. “Hidup! Hidup Kuba!”, teriak Abuela. Ia sejenak berhenti, kemudian
bertanya pada Simon,
“Simon, bagaimana sorak-sorai yang sering diucapkan
orang-orang?”
Dengan antusias
Simon pun menjawab, “Hurray! Hore..
Hore..!”
Simon dan Abuela semakin menjadi-jadi. Mereka bersorak-sorak
ria lalu mengirimkan salam hangat dan menyapa teman-teman dan kerabat mereka--seperti
yang sering dilakukan orang awam jika berada didepan kamera TV. Melihat
kegembiraan itu, Mel pun kembali melaporkan dari atas helikopter.
“Lihatlah, betapa antusiasnya mereka. Seluruh anggota
keluarga menyoraki dan menyemangati Margarita kecil mereka agar memenangkan perlombaan ini. Saya harap mereka
tidak terlalu kecewa dengan hasilnya nanti”, lapor Mel Munson.
Mary pun menyahut, “Yaa. Tampaknya mereka senang sekali
menghabiskan waktu bersama. Ini merupakan salah satu ajang untuk kumpul bersama
keluarga, Mel”
Kemudian Mel merespon lagi, “Tepat sekali. Lihatlah,
siapa pun bisa mengikuti perlombaan ini. Dan ini merupakan sebuah contoh serta
tanda penghargaan kita akan keadilan. Salah satu kehebatan dari perlombaan ini
adalah bahwa diantara para profesional yang diundang dalam lomba, ternyata
masih ada ruang untuk para amatir. Seperti yang satu ini. Orang-orang simple dan sederhana seperti yang kita
lihat dibawah ini, dengan La Havana
nya yang lusuh dan tidak elit, mereka berkesempatan juga untuk menang”
Setelah kata-kata terakhirnya, Mel dan para kru helikoper
pun pergi meninggalkan kapal. Suara helikopter semakin lama semakin memudar.
Seluruh anggota keluarga, termasuk Margarita mengamati nya dalam diam. Entahlah!
Entah kah itu disengaja atau tidak, pesan terakhir Mel terasa menusuk-nusuk
sanubari. Mel telah menghina sekaligus mencemooh Eduardo sekeluarga. Orang
kampungan seperti Eduardo dan keluarganya seolah tak layak mengikuti perlombaan
bergengsi itu; menurut Mel. Kata-katanya magis, seolah menghentikan jarum jam
yang sedang berputar. Semuanya terpaku dan terdiam--mungkin masih mencerna kalimat
yang begitu tajam. Ya! Semuanya membisu hingga Simon mematikan radio. Eduardo
kemudian membungkukkan badannya dan melihat ke ufuk. Ia bicara pada dirinya
sendiri, “Amatir”, ujarnya. Eduardo mungkin masih berusaha menelan ucapan
reporter itu.
Aida pun tersadar dari diamnya. Emosinya membludak. Ia
sangat tersinggung dan marah pada media busuk itu.
“Eduardo, orang itu menghina kita, tidakkah kau dengar,
Eduardo? Mereka memanggil kita orang-orang simple,
sederhana dengan kapal lusuh. Tidakkah kau mendengarnya…??”. Aida menunjukkan
kebolehannya dalam meluapkan amarah. Sementara Abuela mengepalkan tinjunya pada
helikopter yang menyeleweng terbang diudara sebagai bentuk kemarahannya. Simon ikut
melakukan hal yang sama dengan neneknya.
Eduardo tak menggubris sedikitpun. Ia pergi ke sisi kapal
dan menatap pada Margarita yang sedang berenang. Aida mengikutinya lalu meluapkan
lagi amarahnya,
“Mereka seenaknya datang dengan helikopter untuk menghina
istrimu, keluargamu, anakmu …” ujar Aida.
Mendengar keributan itu, Margarita berhenti, mengangkat
kepalanya dan kemudian memanggil Eduardo. Sementara itu Aida masih saja
menjerit marah. Ia tidak terima dengan ucapan reporter itu yang mengatakannya simple. Setiap kali Aida marah dan
mengeluarkan kalimat-kalimat pemberontakan, Abuela ikut mendukung apa-apa yang
diucapkan anaknya itu.
“Aku dan keluargaku tidak simple. Jika putriku simple,
maka ia tak kan berenang di lautan saat ini juga”, Aida masih marah. Simon
kemudian menyumpah lagi, diikuti oleh Abuela yang masih mengepalkan tinjunya.
Mendengar kalimat-kalimat amarah itu, Margarita pun bertanya maksud simple tersebut. Tapi Eduardo tidak
menjawab; ia tak mau putrinya terganggu dengan hal itu. Hanya Aida yang masih
enggan mengakhiri amarahnya. Aida menuturkan pada suaminya bahwa ia ingin
suaminya menghubungi stasiun TV dan menyuruh mereka meminta maaf atas apa yang
diucapkannya tentang Margarita dan seluruh keluarga. Namun, apa jawaban
Eduardo?
“Nanti akan aku putuskan apa yang harus dilakukan”,
ujarnya. Margarita yang sedari tadi memperhatikan kembali menanyakan perihal
apa yang terjadi pada Ayahnya. Akan tetapi malah Simon, Abuela, dan Aida yang
menjawab pertanyaan Margarita tersebut. Mungkin memang normalnya begitu,
perempuan cenderung emosional dan kadang cerewet dalam menghadapi suatu
masalah. Apalagi Ibu-ibu yang pikirannya sudah terbagi-bagi---memikirkan suami,
anak, dan hal lain. Buktinya Aida masih menggerutu. Ia bersandar pada Abuela
lalu menyahut pada putrinya,
“Dia bilang kita kampungan! Dan ayahmu sama sekali tak
berkutik, tak kesal dengan hal itu. Yang dia tau hanyalah memaki-maki Ibu”,
ujar Aida
Mendengar hal itu, Eduardo pun angkat suara, “Diaamm!
Diam semuanya! Apakah kalian semua ingin membuyarkan konsentrasinya? Itukah
yang kalian inginkan? Jadi itu yang kalian inginkan setelah mendengar laporan
tadi, haa??” suara Eduardo menggema melalui megafon. Abuela, Aida dan Simon
langsung ciut. Eduardo menghampiri sebelum mereka beranjak dari tempat
masing-masing.
“Berenang itu butuh tempo dan konsentrasi…”, tambah
Eduardo. Untuk mencegah keributan lagi, Eduardo lantas memerintahkan Simon agar
kembali menjaga kapal dan memperhatikan arah. Simon pun angkat kaki menuju
kabin. Sedangkan pada Aida, ia menyuruhnya untuk melakukan sesuatu yang lebih
bermanfaat daripada sekedar menjerit-menjerit dan saling menyalahkan. Aida dan
Abuela kemudian berlutut dan berdoa—dalam bahasa Spanyol. Lalu, Eduardo kembali membimbing
putrinya berenang,
“Ayo Nak… Uno…dos… kamu harus menang” tegas Eduardo
menyemangati putrinya.
Comments
Post a Comment
Thank you for your comments ...